My name

Selasa, 02 November 2010

Wong jawa ora "njawa" ni

Dear diary....
Kalau kita jalan-jalan di pulau dewata kita akan merasakan betapa kentalnya budaya mereka. Seakan sulit tergeser meskipun mereka secara langsung bersinggungan dengan turis dari berbagai negara yang menawarkan kemajuan teknologi dan gaya hidup yang berbeda. Coba kita amati dimanapun mereka tidak malu memakai baju adat bangga malah. Pertanyaanku mengapa ya mereka dapat terus mempertahankan kebudayaannya? posting ini aku ga akan membahas budaya Bali diary...aku akan lebih membahas budayaku sendiri yaitu budaya Jawa.

Coba diary kita tengok lingkungan sekitar kita, banyak sekali pergeseran yang nampak kasat mata. Seperti sudah berkurang nya seseorang memakai bahasa Jawa sesuai dengan anggah ungguh. Seperti seorang anak yang memakai bahasa kromo halus pada ortu mereka. survey di kelasku saat aku tanya berapa anak yang dirumah memakai bahasa Jawa "Kromo" kepada orang tuanya? dan yang mengangkat tangan hanya 1 dari 36 siswa. Begitu pula di kelas lain. Bahkan kadang aku geli sekaligus gemes juga mendengar bahasa anak-anak yang memanggilku seharusnya "panjenengan" jadi "pean" atau "sampeyan" bahkan parah lagi ada yang yang manggi "kowe" aduh...pingin tak cubit aja itu anak. Akhirnya aku selalu bilang pada mereka jika disekolah kalau mereka memang tidak bisa bahasa kromo lebih baik memakai bahasa Indonesia saja karena rasanya risih banget kalau dengar ucapan mereka yang amburadul.

Yahc memang ada anggapan kalau memakai basa Jawa Kromo di lingkungan keluarga dapat membuat si Anak maupun si ortu akan memiliki jurang dalam hal kedekatan satu sama lain. Benarkah itu? relevan kah? Kenyataannya itu tidak aku alami. Aku di biasakan memakai bahasa Kromo untuk orang yang lebih tua terutama orang tuaku sejak umur 6 tahun atau sejak aku menginjakan kaki di bangku SD. Dan dalam pendidikan keluargaku selalu memegang teguh anggah ungguh bahasa. Setiap aku salah mengucapkan aku selalu diperingatkan. Kenyataannya tidak ada secuil pun rasa jauh dari orang tuaku. Tidak ada jurang yang memisahkan kedekatan kami kecuali saat aku masih remaja dulu dan itu wajar karena psikologi remaja yang cenderung ingin menutup diri. Akan tetapi terlepas dari itu keakrabanku dengan orang tua tidak kalah dengan yang setiap hari berbahasa "Ngoko" dengan orangtuanya katanya se biar seperti teman. Nah anggapan ini yang sepertinya membuat adanya pergeseran. Pernah mengamati ga diary seorang anak yang marah pada orang tuanya misal dengan bahasa "Ngoko" akan sangat kasar jika berbicara akan tetapi seorang anak meskipun sedang marah atau menangis memakai bahasa "Kromo" tidak akan ada yang tersakiti. si anak akan dapat mengendalikan kata-katanya sedang si orang tua pun tidak akan terbawa emosi karena kata-kata kasar dari si anak. Betul ga????? hehe karena itu aku alami diary jadi aku rasa itu relevan.


Nah kembali ke pokok bahasan. Ada beberapa filosofis jawa yang sangat baik untuk di terapkan dalam kehidupan kita. Dari sebuah buku yang aku baca, memang salah satu filosofis orang jawa adalah "nrimo ing pandum"  arti nya dapat menerima segala kenyataan yang ada dengan ikhlas dan sabar dan itu menggambarkan bahwa masyarakat jawa adalah masyarakat yang cukup terbuka dan Agamis. Yang ada sekarang termasuk yang nulis diary ini (ngaku hehe...) terkadang tidak dapat mesyukuri baik hal kecil maupun hal besar yang telah di anugrahkan Allah pada kita semua. Kita cenderung menuntut dan tidak puas kadang mengeluh dengan apa yang kita capai sungguh memalukan ya??? ^_^. Selain itu juga ada filsafat "Alon-alon tur kelakon" yang artinya kita jangan gegabah dalam bertindak. Sebelum bertindak kita harus berfikir baik tidaknya agar kita mendapat hasil yang maksimal. Akan tetapi seperti yang aku katakan tadi bahwa sudah jarang masyarakat yang memegang tegus filsat yang satu ini. Hal ini di buktikan semakin banyaknya segala hal dengan merk "Instan". Misal makanan instan, minuman instan, rumah instan,pendidikan instan,  ijazah instan, bahkan pendamping instan Astagfilullah.....(>.<)

Memang diary tidak disanggah segala yang instan dapat menghemat waktu dan sangat efisien termasuk aku kadang juga menyukai yang instan kecuali instan yang terkhir aku bilang (pendamping instan maksudnya) hahaha.....tapi diary sebentar kita tengok semua yang bersifat instan itu apakah ada efek sampingnya??????
Dan ya banyak sekali efek samping dari yang serba instan makanan dan minuman banyak yang mengandung pengawet yang menimbulkan berbagai penyakit yang sangat meresahkan akhir-akhir ini. Dulu masyarakat yang masih memegang filosofis jawa tersebut tentu tidak akan memakai pengawet baik untuk makanan ataupun minumannya. Meski harus memasak berjam-jam tapi mereka akan menyuguhkan makanan yang lezat dan merupakan makanan organik jauh dari segala pemicu penyakit.

Okey diary....kita memang tidak bisa menolak datangnya kemajuan teknologi yang menghantam bertubi-tubi bagai tsunami yang memporak porandakan dasar kejawen kita yang merupakan masyakat adi luhung berbudi pekerti, tepo sliro dan suka bergotong royong. Jiaaaah.......gemes aku diary kalau aku bersinggungan dengan orang yang sangat jauh dari identitas dirinya sebagai asli trah jawa (maaf bukane rasis) misal rasa "tepo sliro" sekarang berganti denga rasa "tepo awkku dewe" (ini istilah ku saja diary hehe...) artinya yang penting aku senang enjoy....kamu terserah....EGP (Emang Gue Pikirin) gitu istilahnya. Ya mo gimana diary kita hidup kan bermasyarakat yo ndak bisa kan kita hidup individualisme?????tanpa memikirkan perasaan orang??? kalo dah seperti itu aku selalu berkata dalam hati "Pancene wong jowo ora "njawa" ni " hahaha.....stt... ini hanya unek unek ku diary coz aku semakin prihatin dengan budaya jawa yang semakin tergeser. Aku semakin tertarik mempelajari filosofis jawa yang begitu keren gitu menurut istilahku.....

Okey diary cukup segini dulu posting ku....

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang banyak orang jawa aeng ora pati " Jawa " itu kalo bahasa malangan.tetapi semua itu juga sudah ada dalam ungkapan jawa "kabeh nut jaman kelakone",ya sekarang tinggal kitanya saja bagaimana membuat perubahan dari wong seng gak pati "jowo" menjadi "jowo"kembali.....^_^

Unknown mengatakan...

yupz betul pak malah dari buku yang sy baca memang masyarakat jawa itu sangat terbuka dalam menerima segala kebudayaan. Andai tidak terlarut dan berpegang pada akar budaya kita maka budaya jawa akan semakin kaya.

Anonim mengatakan...

betul,betul,betul...